Minggu, 31 Januari 2016

FAKTOR YANG MENGHAMBAT KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI


KETERLAMBATAN PROYEK KONSTRUKSI

Pada umumnya suatu proyek konstruksi memiliki rencana dan jadwal pelaksanaan untuk membatasi waktu penyelesaian pekerjaan proyek. Namun tidak jarang rencana dan jadwal pelaksanaan yang telah dibuat tidak sesuai dengan kenyataan dilapangan, sehingga mengakibatkan keterlambatan dalam penyelesaian proyek.

Parameter penting dalam penyelenggaraan proyek konstruksi, yang sering dijadikan sebagai sasaran proyek adalah anggaran, jadwal, dan mutu. Keberhasilan dalam menjalankan proyek tepat waktu, biaya, serta mutu yang telah direncanakan adalah salah satu tujuan terpenting bagi pemilik dan kontraktor. Pelaksanaan proyek yang tidak sesuai dengan rencana, dapat mengakibatkan keterlambatan proyek. Pada pelaksanaan proyek konstruksi, keterlambatan proyek seringkali terjadi, yang dapat menyebabkan berbagai bentuk kerugian bagi penyedia jasa dan pengguna jasa.

Bagi kontraktor, keterlambatan selain dapat menyebabkan pembekakan biaya proyek akibat bertambahnya waktu pelaksanaan proyek, dapat pula mengakibatkan menurunnya kredibilitas kontraktor untuk waktu yang akan datang. Sedangkan bagi pemilik, keterlambatan penggunaan atau pengoperasian hasil proyek konstruksi dan seringkali berpotensi menyebabkan timbulnya perselisihan dan klaim antara pemilik dan kontraktor (Soeharto,1997).

Menurut (Andi et al, 2003), secara umum faktor- faktor yang potensial untuk mempengaruhi waktu pelaksanaan konstruksi terdiri dari tujuh kategori, yaitu:
1.     tenaga kerja,
2.     bahan (material),
3.     peralatan (equipment),
4.     karakteristik tempat (site characteristics),
5.     manajerial (managerial),
6.     keuangan (financial),
7.     faktor-faktor lainnya antara lain intensitas curah hujan, kondisi ekonomi, dan kecelakaan kerja.

Menurut (Assaf, 1995), seringkali kontraktor mengalami kerugian, seperti yang disebabkan oleh keterlambatan proyek dan secara terperinci untuk mengetahui faktor-faktor penyebab yang sering terjadi dalam industri konstruksi dikelompokkan dalam sembilan faktor,
yaitu:
1.     bahan,
2.     pekerja,
3.     peralatan,
4.     keuangan,
5.     situasi,
6.     perubahan,
7.     hubungan dengan pemerintah,
8.     kontrak,
9.     waktu dan kontrol.

Sedangkan menurut (Proboyo,1999), secara umum keterlambatan proyek sering terjadi karena adanya perubahan perencanaan selama proses pelaksanaan, manajerial yang buruk dan organisasi kontraktor, rencana kerja yang tidak terurus dengan baik dan terpadu, gambar dan spesifikasi yang tidak lengkap, ataupun kegagalan kontraktor dalam melaksanakan pekerjaan. Melihat hasil penelitian yang telah dilakukan, maka untuk mengantisipasi keterlambatan pekerjaan proyek tersebut, disarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Sebaiknya perusahaan/kontraktor sudah mempersiapkan diri untuk mengatasi segala kemungkinan yang terjadi dimusim penghujan baik dari segi peralatan maupun over time untuk menyeimbangi waktu yang telah terbuang agar pekerjaan konstruksi tidak terhambat.

2. Kepada owner sebaiknya memulai proyek setelah musim penghujan agar pelaksanaan pembangunan proyek tidak terhambat oleh hujan.

3. Masalah keterlambatan pada pekerjaan konstruksi gedung yang dialami disetiap wilayah dapat berbeda sehingga disarankan untuk dapat dilakukan penelitian secara berkala pada wilayah lainnya mengenai masalah keterlambatan yang terjadi.

4. Diperlukan perencanaan, koordinasi dan komunikasi yang baik antara pihak yang terlibat untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya keterlambatan pekerjaan konstruksi.


JENIS-JENIS KETERLAMBATAN

Kraiem dan Dickman yang dikutip dari Wahyudi, (2006) menyatakan, keterlambatan dapat dibagi menjadi 3 jenis utama, yaitu:

1. Keterlambatan yang tidak dapat dimaafkan (Non Excusable Delays).
   Non Excusable Delays adalah keterlambatan yang diakibatkan oleh tindakan,
   kelalaian, atau kesalahan kontraktor

2. Keterlambatan yang dapat dimaafkan (Excusable Delays).
   Excusable Delays adalah keterlambatan yang disebabkan oleh kejadian-kejadian
   diluar kendali baik pemilik maupun kontraktor. Pada kejadian ini, kontraktor
   mendapatkan kompensasi berupa perpanjangan waktu saja.

3. Keterlambatan yang layak mendapat ganti rugi (Compensable Delays).
   Compensable Delays adalah keterlambatan yang diakibatkan tindakan, kelalain
   atau kesalahan pemilik. Pada kejadian ini, kontraktor biasanya mendapatkan
   kompensasi berupa perpanjangan waktu dan tambahan biaya operasional yang
   perlu selama keterlambatan pelaksanaan tersebut.


KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis, diperoleh kesimpulan sebagai berikut:
1. Faktor utama penyebab keterlambatan pelaksanaan konstruksi gedung menurut pihak kontraktor adalah factor ketidaktersediaan tenaga kerja, hal ini dikarenakan waktu pelaksanaan proyek konstruksi bertepatan dengan waktu tanam, waktu panen, atau hari raya sehingga sulit untuk mendapatkan tenaga kerja buruh. Selain itu ketidaktersediaan tenaga kerja juga disebabkan proyek konstruksi tersebut merupakan proyek besar yang membutuhkan banyak tenaga kerja, dengan tidak tersedianya tenaga kerja proyek menjadi terlambat

2. Faktor utama penyebab keterlambatan pelaksanaan pekerjaan konstruksi gedung menurut pihak pemilik proyek adalah keterlambatan pengiriman material (mobilisasi material) ke lokasi. Hal ini, menurut pihak pemilik dapat disebabkan oleh ketidaktersediaan material di pasaran

3. Faktor utama penyebab keterlambatan pelaksanaan pekerjaan konstruksi gedung menurut pihak   konsultan pengawas adalah factor keterlambatan pengirim material (mobilisasi material) ke lokasi. Menurut pihak konsultan pengawas, faktor tersebut disebabkan karena kurangnya pengawasan terhadap   supplier

4. Perbedaan pendapat antara pihak-pihak tersebut, disebabkan karena proyek yang dikerjakan oleh masing-masing pihak juga berbeda, baik dari segi waktu, lokasi dan dana, sehingga memiliki tingkat kesulitan yang berbeda


Sabtu, 30 Januari 2016

GREEN PLANNING, GREEN CITY, GREEN ARCHITECTURE


GREEN PLANNING


Pendekatan ini terdiri atas 5 konsep utama pada ide Green Planning

1.     Konsep kawasan berkeseimbangan ekologis yang bisa dilakukan dengan upaya penyeimbangan  air, CO2, dan energi.
2.    Konsep desa ekologis yang terdiri atas penentuan letak kawasan, arsitektur, dan transportasi dengan contoh penerapan antara lain: kesesuaian dengan topografi, koridor angin, sirkulasi air untuk mengontrol klimat mikro, efisiensi bahan bakar, serta transportasi umum.
3.    Konsep kawasan perumahan berkoridor angin (wind corridor housing complex), dengan strategi pengurangan dampak pemanasan. Caranya, dengan pembangunan ruang terbuka hijau, pengontrolan sirkulasi udara, serta menciptakan kota hijau.
4.    Konsep kawasan pensirkulasian air (water circulating complex). Strategi yang dilakukan adalah daur ulang air hujan untuk menjadi air baku.
5.    Konsep taman tadah hujan (rain garden).


Pendekatan Integrated Tropical City di Indonesia

            Konsep ini cocok untuk kota yang memiliki iklim tropis seperti Indonesia. Konsep intinya adalah memiliki perhatian khusus pada aspek iklim, seperti perlindungan terhadap cuaca, penghutanan kota dengan memperbanyak vegetasi untuk mengurangi Urban Heat Island. Bukan hal yang tidak mungkin apabila Indonesia menerapkannya seperti kota-kota berkonsep khusus lainnya (Abu Dhabi dengan Urban Utopia nya atau Tianjin dengan Eco-city nya), mengingat Indonesia yang beriklim tropis.
            Kelebihan dari konsep Kota Hijau adalah dapat memenuhi kebutuhan keberadaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di suatu kawasan, sehingga dapat mengurangi bahkan memecahkan masalah lingkungan, bencana alam, polusi udara rendah, bebas banjir, rendah kebisingan dan permasalahan lingkugan lainnya.
            Namun disamping kelebihannya, konsep ini memiliki kelemahan juga. Penerapannya pada masing-masing kawasan tidak dapat disamaratakan karena tiap-tiap daerah memerlukan kajian tersendiri. Setidaknya harus diketahui tentang karakteristik lokal, iklim makro, dan sebagainya. Misalnya, daerah pegunungan RTH difungsikan untuk menahan longsor dan erosi, di pantai untuk menghindari gelombang pasang, tsunami, di kota besar untuk menekan polusi udara, serta di perumahan, difungsikan meredam kebisingan. Jadi RTH di masing-masing kota memiliki fungsi ekologis yang berbeda. Disamping itu, penerapannya saat ini kebanyakan pelaksanaan penghijauannya tidak terkonseptual, sehingga menimbulkan citra penghijauan asal jadi tanpa melihat siapa yang dapat mengambil manfaat positif dari penghijauan.

            Direktorat Jenderal Penataan Ruang, Kementerian Pekerjaan Umum menginisiasi Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH). Tujuannya adalah:
1.     Meningkatkan pemahaman kepada warga tentang pentingnya ruang terbuka hijau bagi keseimbangan fungsi kota yang berkelanjutan
2.    Menggali dan menampung aspirasi dari warga tentang ruang terbuka hijau lewat metode rembuk/diskusi terbuka dan pembuatan kota hijau


GREEN CITY

 Kota Hijau merupakan salah satu konsep pendekatan perencanaan kota yang berkelanjutan. Kota Hijau juga dikenal sebagai Kota Ekologis atau kota yang sehat. Artinya adanya keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan. Dengan kota yang sehat dapat mewujudkan suatu kondisi kota yang aman, nyaman, bersih, dan sehat untuk dihuni penduduknya dengan mengoptimalkan potensi sosial ekonomi masyarakat melalui pemberdayaan forum masyarakat, difasilitasi oleh sektor terkait dan sinkron dengan perencanaan kota. Untuk dapat mewujudkannya, diperlukan usaha dari setiap individu anggota masyarakat dan semua pihak terkait (stakeholders).
            Konsep Kota Hijau ini sesuai dengan pendekatan-pendekatan yang disampaikan Hill, Ebenezer Howard, Pattrick Geddes, Alexander, Lewis Mumford, dan Ian McHarg. Implikasi dari pendekatan-pendekatan yang disampaikan diatas adalah menghindari pembangunan kawasan yang tidak terbangun. Hal ini menekankan pada kebutuhan terhadap rencana pengembangan kota dan kota-kota baru yang memperhatikan kondisi ekologis lokal dan meminimalkan dampak merugikan dari pengembangan kota, selanjutnya juga memastikan pengembangan kota yang dengan sendirinya menciptakan aset alami lokal.
            Kota dapat dimasukkan sebagai Kota Hijau, antara lain memiliki kriteria sebagai berikut:
1.     Pembangunan kota harus sesuai peraturan undang-undang yang berlaku, seperti Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 Penanggulangan Bencana (Kota hijau harus menjadi kota waspada bencana), Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan Undang Undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan peraturan lainnya.
2.    Konsep Zero Waste (pengolahan sampah terpadu, tidak ada yang terbuang).
3.    Konsep Zero Run-off (semua air harus bisa diresapkan kembali ke dalam tanah, konsep ekodrainase).
4.    Infrastruktur Hijau (tersedia jalur pejalan kaki dan jalur sepeda).

5.    Transportasi Hijau (penggunaan transportasi massal, ramah lingkungan berbahan bakar terbarukan, mendorong penggunaan transportasi bukan kendaraan bermotor - berjalan kaki, bersepeda, delman/dokar/andong, becak.
6.    Ruang Terbuka Hijau seluas 30% dari luas kota (RTH Publik 20%, RTH Privat 10%)
7.    Bangunan Hijau
8.    Partisispasi Masyarakat (Komunitas Hijau).
            Dalam Undang–undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa pelaksanaan penataan ruang merupakan upaya pencapaian tujuan penataan ruang melalui pelaksanaan Perencanaan Ruang, Pemanfaatan Ruang dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Kebijaksanaan pemanfaatan ruang adalah mewujudkan pelestarian fungsi lingkungan hidup, meningkatkan daya dukung lingkungan alami dengan lingkungan buatan, serta menjaga keseimbangan ekosistem guna mendukung proses pembangunan berkelanjutan untuk kesejahterahan masyarakat.
            Kebijaksanaan tersebut dioperasionalkan melalui :
1.     Pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan.
2.    Meningkatkan keseimbangan dan keserasian perkembangan antar bagian wilayah serta keserasian antar sektor melalui pemanfaatan ruang secara serasi, selaras dan seimbang serta berkelanjutan.
3.    Meningkatkan kualitas lingkungan hidup serta mencegah timbulnya kerusakan fungsi dan tatanan lingkungan hidup.
            Berdasarkan pengertian pemanfaatan ruang menurut undang-undang tersebut pada prinsifnya dalam proses pemanfaatan ruang khususnya di wilayah perkotaan secara menyeluruh dan terpadu, dapat diwujudkan melalui pendekatan Kota Hijau. Dengan konsep Kota Hijau krisis perkotaan dapat kita hindari, sebagaimana yang terjadi di kota-kota besar dan metropolitan yang telah mengalami obesitas perkotaan, apabila kita mampu menangani perkembangan kota-kota kecil dan menengah secara baik, antara lain dengan penyediaan ruang terbuka hijau, pengembangan jalur sepeda dan pedestrian, pengembangan kota kompak, dan pengendalian penjalaran kawasan pinggiran.Terdapat beberapa pendekatan Kota Hijau yang dapat diterapkan dalam manajemen pengembangan kota.


GREEN ARCHITECT

                Sebuah konsep arsitektur yang berusaha meminimalkan pengaruh buruk terhadap lingkungan alam maupun manusia dan menghasilkan tempat hidup yang lebih baik dan lebih sehat, yang dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber energi dan sumber daya alam secara efisien dan optimal.
            Arsitektur hijau mulai tumbuh sejalan dengan kesadaran dari para arsitek dan seluruh umat manusia akan keterbatasan alam dalam menyuplai material yang mulai menipis. Alasan lain digunakannya arsitektur hijau adalah untuk memaksimalkan potensi site. Penggunaan material-material yang bisa didaur-ulang juga mendukung konsep arsitektur hijau, sehingga penggunaan material dapat dihemat.
            Green Building dapat diinterpretasikan sebagai sustainable (berkelanjutan), earthfriendly (ramah lingkungan), dan high performance building (bangunan dengan performa sangat baik).
            Suatu bangunan belum bisa dianggap sebagai bangunan berkonsep Arsitektur hijau apabila bangunan tersebut tidak bersifat ramah lingkungan. Maksud tidak bersifat ramah terhadap lingkungan disini tidak hanya dalam perusakkan terhadap lingkungan. Tetapi juga menyangkut masalah pemakaian energi. Oleh karena itu bangunan berkonsep green architecture mempunyai sifat ramah terhadap lingkungan sekitar, energy dan aspek–aspek pendukung lainnya.


ARSITEKTUR DAN LINGKUNGAN


BAB I
Pendahuluan

I.1. Kata Pengantar

            Puji syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan tugas softskill pada mata kuliah Arsitekur Lingkungan. Pada tugas kali ini saya telah menyelesaikan makalah yang berisikan tentang Arsitektur Lingkungan dan Studi Kasus yang baik dan buruk pada Arsitektur Lingkungan yang terjadi di Indonesia. Semoga makalah yang saya buat dapat berguna memberikan wawasan dan pengetahuan bagi para pembacanya serta bisa memperoleh nilai yang sebaik-baiknya. Terimakasih.

I.2. Latar Belakang
Ketika mendengar kata arsitek, erap kaitannya dengan sebuah pembangunan gedung-gedung mewah dan memiliki nilai estetis tinggi. Membangun sebuah gedung ataupun bangunan lainnya tidak lah semudah membalikkan telapak tangan. Banyak pertimbangan-pertimbangan yang harus difikirkan seperti kelayakan, kesesuaian, dampak terhadap masyarakat sekitar (untuk bangunan skala monumental), dampak terhadap lingkungan dan masih banyak lagi hal-hal yang tidak boleh diabaikan. Dalam hal ini yang insya Allah akan saya bahas adalah arsitektur dan lingkungan.
Allah menciptakan alam ini dengan sedemikian indah nan eloknya. Bukan berarti kita tidak boleh mengadakan pembangunan. Akan tetapi terkadang pembangunan banyak memiliki dampak negatif terhadap lingkungan, seperti halnya membuka hutan untuk pembangunan, mengurug rawa-rawa dalam area yang luas, penebangan pohon, tidak disediakannya tanah resapan dalam sebuah bangunan dan lain-lain.
Dalam sebuah bangunan, katakanlah sebuah rumah. Diharuskan memiliki unsur hijau minimal 30% dari luas lahan/tanah. Pada penanaman pohon, pohon yang hendak ditanam sebaiknya adalah pohon berkayu bukan pohon palem-paleman.



BAB II
Pembahasan

II.1. Pengertian Arsitektur

               Arsitektur adalah seni dan ilmu dalam merancang bangunan. Dalam artian yang lebih luas, arsitektur mencakup merancang dan membangun keseluruhan lingkungan binaan, mulai dari level makro yaituperencanaan kota, perencanaan perkotaan, arsitektur lansekap, hingga ke level mikro yaitu desain bangunan, desain parabot dan desain produk. Arsitektur juga merujuk kepada hasil-hasil proses perancangan tersebut.

II.2. Pengertian Lingkungan

Lingkungan adalah kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan lingkungan fisik tersebut. Bagi sebagian besar orang, waktu mereka dihabiskan untuk terlibat dalam organisasi baik formal maupun informal. Sejak kita memasuki masa sekolah hingga hidup bermasyarakat, tentunya banyak sekali kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti, seperti kelompok paduan suara, tim olahraga, kelosmpok musik atau drama, organisasi keagamaan di lingkungan tempat tinggal, atau juga bisnis.
Organisasi formal merupakan sistem tugas, hubungan, wewenang, tanggung jawab, dan pertanggung jawaban yang dirancang oleh manajemen agar pekerjaan dapat dilakukan. Sedangkan organisasi informal adalah suatu hubungan jaringan pribadi dan sosial yang mungkin tidak dilakukan atas dasar hubungan wewenang formal. Organisasi informal dapat terbentuk di dalam perusahaan karena adanya interaksi antar karyawan, contohnya kelompok arisan pada suatu kantor. Organisasi informal muncul karena adanya kebutuhan pribadi dan kelompok dalam suatu organisasi.

II.3. Pengertian Arsitektur Lingkungan

Arsitektur ramah lingkungan, yang juga merupakan arsitektur hijau, mencakup keselarasan antara manusia dan lingkungan alamnya. Arsitektur hijau mengandung juga dimensi lain seperti waktu, lingkungan alam, sosio-kultural, ruang, serta teknik bangunan. Hal ini menunjukkan bahwa arsitektur hijau bersifat kompleks, padat dan vital dibanding dengan arsitektur pada umumnya. Green architecture didefinisikan sebagai sebuah istilah yang menggambarkan tentang ekonomi, hemat energi, ramah lingkungan, dan dapat dikembangkan menjadi pembangunan berkesinambungan
Green architecture (dikenal sebagai konstruksi hijau atau bangunan yang berkelanjutan) adalah praktek membuat struktur dan menggunakan proses yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sumber daya yang efisien di seluruh siklus hidup bangunan: dari tapak untuk desain, konstruksi, operasi, pemeliharaan, renovasi, dan dekonstruksi. Praktek ini memperluas dan melengkapi desain bangunan klasik keprihatinan ekonomi, utilitas, daya tahan, dan kenyamanan.


BAB III
Studi Kasus

III.1. Pengaruh Arsitektur Terhadap Lingkungan

Seorang arsitek, adalah seorang ahli di bidang ilmu arsitektur, ahli rancang bangun atau ahli lingkungan binaan. Istilah arsitek seringkali diartikan secara sempit sebagai seorang perancang bangunan, adalah orang yang terlibat dalam perencanaan, merancang, dan mengawasi konstruksi bangunan, yang perannya untuk memandu keputusan yang mempengaruhi aspek bangunan tersebut dalam sisi astetika, budaya, atau masalah sosial. Definisi tersebut kuranglah tepat karena lingkup pekerjaan seorang arsitek sangat luas, mulai dari lingkup interior ruangan, lingkup bangunan, lingkup kompleks bangunan, sampai dengan lingkup kota dan regional. Karenanya, lebih tepat mendefinisikan arsitek sebagai seorang ahli di bidang ilmu arsitektur, ahli rancang bangun atau lingkungan binaan.
Arti lebih umum lagi, arsitek adalah sebuah perancang skema atau rencana. "Arsitek" berasal dari Latin architectus, dan dari bahasa Yunani: architekton (master pembangun), arkhi (ketua) +tekton (pembangun, tukang kayu). Dalam penerapan profesi, arsitek berperan sebagai pendamping, atau wakil dari pemberi tugas (pemilik bangunan). Arsitek harus mengawasi agar pelaksanaan di lapangan/proyek sesuai dengan bestek dan perjanjian yang telah dibuat. Dalam proyek yang besar, arsitek berperan sebagai direksi, dan memiliki hak untuk mengontrol pekerjaan yang dilakukan kontraktor. Bilamana terjadi penyimpangan di lapangan, arsitek berhak menghentikan, memerintahkan perbaikan atau membongkar bagian yang tidak memenuhi persyaratan yang disepakati. Namun dalam penerapan pekerjaan arsitektur jarang yang memperhatikan dampak lingkungan binaan sekitar.


III.2. Pengaruh Positif Pekerjaan Arsitek Terhadap Lingkungan

1.    Memperhatikan hubungan antara ekologi dan arsitektur, yaitu hubungan antara massa bangunan dengan makhluk hidup yang ada disekitar lingkungannya, tak hanya manusia tetapi juga  flora dan faunanya. Arsitektur sebagai sebuah benda yang dibuat oleh manusia harus mampu menunjang kehidupan dalam lingkungannya sehingga memberikan timbal balik yang menguntungkan untuk kedua pihak. Pendekatan ekologis dilakukan untuk menghemat dan mengurangi dampak– dampak negatif yang ditimbulkan dari terciptanya sebuah massa bangunan, akan tetapi dengan memanfaatkan lingkungan sekitar. Contoh terapannya yaitu, munculnya trend green design.
2.   Memberikan dampak pada estetika bangunan
3.   Dapat memberikan pemecahan masalah pada tata letak bangunan atau kota.
4.   Memperhatikan kondisi lahan yang akan dibangun. Sebagai contoh bila bangunan akan didirikan pada lahan yang memiliki kemiringam, maka dengan pendekatan ekologis bisa dicarikan solusinya seperti memperkuat pondasi, atau menggabungkan unsur alam pada lingkungan dengan bangunan yang ada sehingga semakin estetis bangunan yang tercipta.


Contoh :

1.    Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat.



            Banyaknya lingkungan hijau di site bangunan tersebut dan pembuatan taman pada atap sehingga membuat dampak positif untuk mengurangi dampak global warming.
·       Sebagai taman hijau kota.
·       Pembuatan the "Artificial Sungai" dibuat sepanjang sisi barat laut situs untuk membantu mengumpulkan air hujan untuk didaur ulang dan mengganti pagar sebagai batas ramah antara taman dan sekitarnya.


2.   The Green School

Sekolah tersebut mempunyai kelebihan sebagai bangunan yang ramah lingkungan karena Sekolah ini merupakan satu – satu-nya sekolah di dunia yang bangunannya terbuat dari batang bamboo yang ramah lingkungan. Sekolah ini didukung oleh sejumlah sumber energi alternatif, Pendingin udaranya tidak lagi memakai Ac, melainkan kincir angin melalui terowongan bawah tanah termasuk bambu air panas serbuk gergaji dan sistem memasak, sebuah powered vortex generator-hydro dan panel surya. Bangunan Kampus termasuk ruang kelas, pusat kebugaran, ruang perakitan, perumahan fakultas, kantor, kafe dan kamar mandi. Tenaga listiknya menggunakan biogas yang terbuat dari kotoran hewan untuk menyalakan kompor. Tambak udang tempat budidaya, sekaligus peternakan sapi. Lokal bambu ditumbuhkan dengan metode yang berkelanjutan, digunakan dalam cara-cara inovatif dan eksperimental yang menunjukkan kemungkinan arsitektur. Hasilnya adalah sebuah komunitas hijau holistik dengan mandat pendidikan yang kuat yang bertujuan untuk menginspirasi siswanya untuk menjadi lebih penasaran, lebih terlibat dan lebih bergairah tentang lingkungan dan bumi ini.


III.3. Pengaruh Negatif Pekerjaan Arsitek Terhadap Lingkungan

Contoh:
1.   Ambruknya Sisi Utara Jalan Raya RE Martadinata Sepanjang 103 Meter



Ambruknya jalan RE martadinata tersebut merupakan contoh dari ketidakpedulian arsitek terhadap lingkungan sekitarnya, daerah yang seharusnya menjadi tempat hijau (tempat penanaman pohon bakau) dijadikan jalan raya. yang mengjutkan lagi seharusnya di pinggir-pinggir jalanan ditanami pohin bakau agar tidak terjadi abrasi terhadap tanah tapi ini tidak ada, bagai mana tidak ambrol apabila begitu?

2.   Banjirnya Kota Jakarta     


 
Banjirnya kota jakarta merupakan akibat dari sitem pembangunan-pembangunan di jakarta yang tidak memikirkan lingkungan, hal tersebut marupakan akibat dari lingkungan yang seharunya merupakandaerah hijau di jadikan menjadi gedung-gedung dan pemakaian plester penuh pada stiap permukaan tanah di kota jakarta sehingga tidak adanya tempat lagi untuk resapan air. Seharusnya untuk jalan pejalan kaki tidak perlu menggunakan plester melainkan menggunakan bata konblok agar air dapat meresap ke tanah.


BAB IV
Penutup

IV.1. Kesimpulan

Kondisi iklim tropis sebenarnya sangat menunjang kehidupan kita yang beraktifitas di dalam ruang. Dengan pemanfaatan kondisi iklim seperti arah dan intensitas sinar matahari, kelembaban udara, suhu, arah dan kecepatan angin, dan curah hujan, sebenarnya dapat dirancang bentuk bangunan yang sedemikian rupa, dan penerapan bahan – bahan alami, sehingga terwujudlah rumah yang ramah lingkungan. Penerapan ini tidak hanya dirasakan manfaatnya oleh penghuni rumah tetapi juga oleh orang lain dan lingkungannya. Dan tidak hanya diperhitungkan untuk kepentingan sesaat, tetapi untuk kepentingan masa depan, dan juga dilihat dari sisi pemanfaatan energi untuk kepentingan sustainable atau berkelanjutan.
Desain bangunan (green building) hemat energi, membatasi lahan terbangun, layout sederhana, ruang mengalir, kualitas bangunan bermutu, efisiensi bahan, dan material ramah lingkungan (green product). Bangunan dirancang dengan massa ruang, keterbukaan ruang, dan hubungan ruang luar-dalam yang cair, teras lebar, ventilasi bersilangan, dan void berimbang yang secara klimatik tropis berfungsi untuk sirkulasi pengudaraan dan pencahayaan alami merata ke seluruh ruangan agar hemat energi.

IV.2. Saran

Di satu sisi, perancangan yang belum memikirkan aspek berkelanjutan, dimana hanya memikirkan bagaimana kita bisa hidup nyaman hari ini tanpa memikirkan bagaimana kita hidup nyaman untuk seterusnya. Untuk itu dirasa perlu adanya upaya perbaikan untuk meminimalisasi efek-efek negatif baik pada manusia maupun pada lingkungan. Perancangan interior dan arsitektur yang baik dapat menjadi bagian dari upaya untuk turut serta dalam penyelamatan dan penyehatan lingkungan. Interior berorientasi ekologis dapat merupakan salah satu jawaban untuk dapat memberikan kontribusi baik bagi penghuni maupun lingkungan. Dengan pemikiran seperti diatas, merupakan langkah awal upaya mitigasi dari sisi perancangan, dan berupaya terus beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang terus berubah ekstrim tersebut.










Sumber:



Jumat, 29 Januari 2016

ARSITEKTUR BIOKLEMATIK


Latar Belakang

Gedung tinggi di berbagai kota di Indonesia  jarang yang mempunyai ciri bangunan iklim tropis apalagi yang berasitektur khas Indonesia. Bangunan menjulang itu didesain berdasarkan pola arsitektur asing, tidak menyatu dengan lingkungan bangunan di sekitarnya. Dalam perancangan tidak hanya memanfaatkan teknologi yang semakin canggih tetapi lebih banyak memanfaatkan sumberdaya alam yang ada sesuai dengan iklim dimana bangunan itu berada dan menjadi pelopor dalam perkembangan arsitektur yang ramah lingkungan sehingga menghindari pengrusakan lingkungan dan untuk menunjukan bahwa bangsa kita sudah maju dalam bidang teknologi yaitu dengan mengembangkan suatu teknologi yang mampu menjawab tantangan masa kini.

Dengan pengetahuan-pengetahuan yang ada pada saat ini kita dapat mengembangkan suatu teknologi yang hemat energi khususnya dalam bidang arsitektur dengan menerapkan teknologi tata surya. Tentunya pengembangan teknologi tidak hanya terbatas pada tata surya saja melainkan sumber daya alam lainya seperti angin, thermal air dan dan sebagainya dapat di olah menjadi sumber energi yang mampu menghemat biaya operasional sebuah bangunan. Dengan adanya bangunan bioklimatik yang semakin banyak di negara kita maka lebih banyak juga penghematan energi yang akan kita lakukan. Dengan demikian biaya akan lebih berkurang


Pengertian Arsitektur Bioklematik


Arsitektur Bioklimatik adalah, suatu jalan dalam mendesain berbagai bangunan dan mempengaruhi lingkungan dalam bangunan dengan lebih memilih bekerja menggunakan kekuatan alam di sekitar bangunan. Arsitektur bioklimatik lebih berfokus pada iklim (atau pengamatan terhadap iklim) sebagai konteks pembangkit tenaga (generator) utama, dan dengan tidak membahayakan lingkungan sekitar menggunakan energi yang minimal sebagai targetnya sendiri.  Pada akhirnya bentuk arsitektur yang dihasilkan juga dipengaruhi oleh budaya setempat, dan hal ini akan berpengaruh pada ekspresi arsitektur yang akan ditampilakan dari suatu bangunan, selain itu pendekatan bioklimtaik akan mengurangi ketergantungan karya arsitektur terhadap sumber – sumber energi yang tidak dapat dipengaruhi.


Selain dari segi arsitektur, yaitu dengan dioptimalkan penerangan alami dan penghawaan alami pada bagian tertentu dari gedung, penghematan energi listrik juga dicapai dari penggunaan energi alternatif. Untuk pembangkitan energi di gedung dapat menggunakan teknologi sel surya fotovoltaik yang mendinginkan  ruangan dan pencahayaan (penerangan). Selain itu penggunaan energi panas matahari di lakukan untuk menjalankan chiller (atau mesin AC). Dalam hal ini sel surya dipilih karena sumber energi ini didapat dengan cuma-cuma didaerah tropis.



Perancangan Arsitektur bioklimatik harus memperhatikan perancangan bangunan yang menjaga udara, air, dan bumi yang memilih bahan bangunan yang ramah lingkungan sehingga kehidupan yang berikutnya akan lebih sehat. Arsitek-arsitek harus lebih banyak mendesain bangunan yang hemat energi, tidak hanya mendesain bangunan bangunan bertingkat tinggi yang banyak mengeluarkan biaya energi listrik melainkan desain alamiah seperti contoh yang ada dalam pembahasan di atas. Begitu juga dengan pengetahuan yang ada pada saat ini kita dapat mengembangkan suatu teknologi yang hemat energi khususnya dalam bidang arsitektur dengan menerapkan teknologi tata surya. Tentunya pengembangan teknologi tidak terbatas pada tatasurya saja, sumber daya alam lainya seperti angin, thermal, air dan sebagainya dapat di olah menjadi sumber energi yang mampu menghemat biaya operasional sebuah bangunan.


Sejarah Perkembangan Arsitektur Bioklematik

Perkembangan Arsitektur Bioklimatik berawal dari 1960-an. Arsitektur Bioklimatik merupakan arsitektur modern yang dipengaruhi oleh iklim. Arsitektur bioklimatik merupakan pencerminan kembali arsitektur Frank Loyd Wright yang terkenal dengan arsitektur yang berhubungan dengan alam dan lingkungan dengan prinsip utamanya bahwa didalam seni membangun tidak hanya efisiensinya saja yang dipentingkan tetapi juga ketenangannya, keselarasan, kebijaksanaan, kekuatan bangunan dan kegiatan yang sesuai dengan bangunannya, “Oscar Niemeyer dengan falsafah arsitekturnya yaitu penyesuaian terhadap keadaan alam dan lingkungan, penguasaan secara fungsional, dan kematangan dalam pengolahan secara pemilihan bentuk, bahan dan arsitektur”.
Akhirnya dari Frank Wright dan Oscar Niemeyer lahirlah arsitek lain seperti Victor Olgay pada tahun 1963 mulai memperkenalkan arsitektur bioklimatik. Setelah tahun 1990-an Kenneth Yeang mulai menerapkan arsitektur bioklimatik pada bangunan tinggi bioklimatik yang memenangkan penghargaan Aga Khan Award tahun 1966 dan Award pada tahun 1966.


Contoh Bangunan Arsitektur Bioklematik


Editt Tower


Saat ini konstruksi tertunda di Singapura, Menara EDITT akan menjadi teladan "Ecological Design In The Tropics". Dirancang oleh TR Hamzah & Yeang dan disponsori oleh National University of Singapore, tinggi 26-cerita-bangkit akan bermegah panel fotovoltaic, ventilasi alami, dan pembangkit biogas semua dibungkus dalam sebuah dinding hidup isolasi yang mencakup setengah dari permukaan daerah. Pencakar langit hijau dirancang untuk meningkatkan bio-lokasi keragaman dan merehabilitasi ekosistem lokal di kota besar 'zeroculture' Singapura.


Sekitar setengah dari luas permukaan Menara EDITT akan dibungkus dalam vegetasi lokal organik, dan arsitektur pasif akan memungkinkan untuk ventilasi alami. Landai diakses publik akan terhubung lantai atas ke tingkat jalan berjajar di tokotoko, restoran dan kehidupan tanaman. Bangunan ini juga telah dirancang untuk adaptasi masa depan, dengan banyak dinding dan lantai yang dapat dipindahkan atau dihapus. Di kota yang dikenal karena hujan, bangunan akan mengumpulkan air hujan dan mengintegrasikan sistem grey-air untuk irigasi tanaman dan WC pembilasan dengan perkiraan 55% kecukupan diri. 855 meter persegi panel photovoltaic akan menyediakan 39,7% dari kebutuhan energi bangunan, dan rencana juga termasuk kemampuan untuk mengubah limbah menjadi biogas dan pupuk. Menara ini akan dibangun menggunakan bahan daur ulang dan dapat didaur ulang banyak, dan sistem daur ulang terpusat akan dapat diakses dari setiap lantai.












Sumber:
http://archiholic99danoes.blogspot.co.id/2011/05/arsitektur-bioklimatik.html


Jumat, 15 Januari 2016

HUKUM DAN PRANATA PEMBANGUNAN


PENGERTIAN

Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.

Penyediaan dan pemanfaatan RTH dalam RTRW Kota/RDTR Kota/RTR Kawasan Strategis Kota/RTR Kawasan Perkotaan, dimaksudkan untuk menjamin tersedianya ruang yang cukup bagi:  
  • kawasan konservasi untuk kelestarian hidrologis; 
  • kawasan pengendalian air larian dengan menyediakan kolam retensi; 
  • area pengembangan keanekaragaman hayati; 
  • area penciptaan iklim mikro dan pereduksi polutan di kawasan perkotaan; 
  • tempat rekreasi dan olahraga masyarakat;
  • tempat pemakaman umum;
  • pembatas perkembangan kota ke arah yang tidak diharapkan; 
  • pengamanan sumber daya baik alam, buatan maupun historis; 
  • penyediaan RTH yang bersifat privat, melalui pembatasan kepadatan serta kriteria pemanfaatannya;
  • area mitigasi/evakuasi bencana;
  • ruang penempatan pertandaan (signage) sesuai dengan peraturan perundangan dan tidak mengganggu fungsi utama RTH tersebut.

PERATURAN

UU NO 26 TAHUN 2007 ( PENATAAN RUANG)
Peraturan tentang struktur ruang dan prasarana wilayah kabupaten yang untuk melayani kegiatan dalam skala kabupaten.
Pemerintah kabupaten memiliki wewenang dalam pengembangan dan pengelolaan kabupaten dan telah disahkan dalam undang – undang.
Rencana tata ruang kabupaten memuat rencana Pola ruang yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang provinsi yang terkait dengan wilayah kabupaten yang bersangkutan.
Rencana tata ruang wilayah kabupaten merupakan pedoman dasar bagi pemda dalam pengembangan lokasi untuk kegiatan pembangunan di daerahnya terutama pada daerah pedesaan.
Peninjauan kembali atau revisi terhadap rencana tata ruang untuk mengevaluasi kesesuaian kebutuhan pembangunan.

UU NO 26 TAHUN 2007 TENTANG RTH ( RUANG TERBUKA HIJAU)

Pada uu no 26 tahun 2007 pasal 17 memuat bahwa proporsi kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai (DAS) yang dimaksudkan untuk menjaga kelestarian lingkungan.
Isi uu no 26 thn 2007 pasal 17 :
(1) Muatan rencana tata ruang mencakup rencana struktur ruang dan rencana pola ruang.
(2) Rencana struktur ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi rencana sistem pusat permukiman dan rencana sistem jaringan prasarana.
(3) Rencana pola ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya.
(4) Peruntukan kawasan lindung dan kawasan budi daya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) meliputi peruntukan ruang untuk kegiatan pelestarian lingkungan, sosial, budaya, ekonomi, pertahanan, dan keamanan.
(5) Dalam rangka pelestarian lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), dalam rencana tata ruang wilayah ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.
(6) Penyusunan rencana tata ruang harus memperhatikan keterkaitan antarwilayah, antarfungsi kawasan, dan antarkegiatan kawasan.
(7) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyusunan rencana tata ruang yang berkaitan dengan fungsi pertahanan dan keamanan sebagai subsistem rencana tata ruang wilayah diatur dengan peraturan pemerintah.
Pasal 1 angka 31 Undang-Undang N0 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang mendefinisikan Ruang Terbuka Hijau ( RTH ) sebagai area memanjang / jalur dan / atau mengelompok yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah, maupun yang sengaja ditanam. Klasifikasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dapat dibagi menjadi 9:
1.Kawasan hijau pertamanan kota
2.Kawasan Hijau hutan kota
3.Kawasan hijau rekreasi kota
4.Kawasan hijau kegiatan olahraga
5.Kawasan hijau pemakaman


KOTA DI INDONESIA YANG MENERAPKAN RTH

Kota Surabaya

Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dimiliki Kota Surabaya hanya 26 persen dari total luas wilayah kota Surabaya yang mencapai 333.063 kilometer persegi. Untuk itu, Pemerintah Kota Surabaya bertekad untuk tetap membangun RTH-RTH baru yang sangat dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan lingkungan.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengatakan, beberapa tahun lalu luas RTH di Surabaya hanya  sembilan persen, lalu kemudian naik menjadi 12 persen, dan kini sebesar 26 persen.
Di dalam Undang Undang (UU) Nomor 26/2007 tentang penataan ruang mensyaratkan RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 persen dari luas wilayah kota. RTH terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuka hijau privat.
Proporsi RTH publik pada wilayah kota paling sedikit 20 persen dari luas wilayah kota. “Saya menargetkan luas RTH bisa di atas 30 persen sehingga Surabaya bisa lebih sejuk, minim polusi, bebas banjir karena banyaknya resapan, juga wajah Surabaya menjadi lebih indah,  jelasnya.
Ke depan, sambung Risma, pemkot menargetkan luas RTH di Surabaya dapat mencapai 35 persen. Karena dengan luas RTH sebesar itu dapat menurunkan suhu udara rata-rata di Surabaya dari 34 derajat celcius menjadi 32 hingga 30  udara bisa 32-30 derajat celcius .
Pembuatan RTH ini tidak selalu dalam bentuk taman, akan tetapi juga bisa berupa pembuatan waduk, penanaman pohon di pinggir jalan, hingga tempat-tempat pembiakan bibit tanaman.
“Tahun ini kita membebaskan 2 hektar lahan untuk RTH. Dan diusahakan tahun ini akan ada banyak RTH-RTH baru yang lebih menyebar diberbagai wilayah di Surabaya,” pungkasnya.


Kota Balikpapan

Secara administrative luas keseluruhan Kota Balikpapan menurut RTRW tahun 2012-2032 adalah 81.495 Ha yang terdiri dari luas daratan 50.337,57 Ha dan luas lautan 31.164,03 Ha.Pansus DPRD Kota Balikpapan dalam pembahasan revisi RTRW Kota Balikpapan Tahun 2012-2032 atas revisi Perda No. 5 Tahun 2006 tentang RTRW Tahun 2005-2015, mengurai problematika penataan ruang di Kota Balipapan dalam 10 tahun terakhir. Dalam perecanaan tata ruang, pemerintah Kota Balikpapan telah menyempurnakan Perda Kota Balikpapan Nomor 5 Tahun 2006 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan tahun 2005 – 2015 menjadi Perda Kota Balikpapan Nomor 12 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Balikpapan Tahun 2012 – 2032 yang telah ditetapkan tanggal 2 November 2012. Dalam Perda terdapat beberapa komitmen yang menjadi kebijakan untuk tetap dilanjutkan, antara lain :
  1. Pola ruang 52% Kawasan Lindung dan 48% Kawasan Budidaya
  2. Tidak menyediakan ruang untuk wilayah pertambangan
  3. Pengembangan kawasan budidaya dengan konsep foresting the city dan green corridor, untuk pengembangan Kawasan Industri Kariangau diarahkan pada green industry yang didukung zero waste dan zero sediment.
Perkembangan kota Balikpapan dalam beberapa tahun terakhir ini sangat pesat. Topografi Balikpapan berbukitbukit dengan kelerengan yang bervariasi, serta jenis tanah pada beberapa kawasan didominasi oleh jenis yang mudah mengalami pergeseran dan erosi. Kondisi ini memerlukan penanganan yang benar dalam pengelolaannya. Kebutuhan akan lahan untuk mencapai visi Balikpapan dapat diwujudkan melalui program-program pembangunan yang berwawasan lingkungan dengan mengikutsertakan seluruh komponen yang ada di kota ini dalam aspek-aspek perencanaan, pelaksanaan dan evaluasinya. Berdasarkan hasil pengumpulan data luas hutan kota di Balikpapan yang secara definitive sudah ditetapkan, saat ini baru mencapai 200 ha yang tersebar di 28 lokasi atau mencapai 0,4 persen dari luas wilayah Kota Balikpapan (503 kilometer persegi).


KESIMPULAN

Pengertian Ruang terbuka hijau itu sendiri adalah Ruang terbuka hijau adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. RTH sendiri memiliki fungsi utama sebagai paru-paru kota, pengatur iklim mikro, sumber oksigen, resapan air dan penyerap polutan dsb.
Berdasarkan UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, untuk menunjang kehidupan masyarakat yang aman dan nyaman, dibutuhkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) berdasarkan Pasal 28 sampai dengan pasal 30 memuat bahwa proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota minimal 30% di mana proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota minimal 10%.
Melihat kondisi di Indonesia tinggi akan polusi udaranya akibat gas buangan kendaraan yang padat serta bencana alam banjir yang sering terjadi, tentunya Program RTH ini wajib dilaksanakan. Tetapi saat ini RTH minimal 30% belum dapat dicapai kota-kota yang ada di Indonesia, akibat pembangunan RTH yang tidak bertahap dan tidak konsisten serta pengerukan tanah untuk bangunan-bangunan dan infrastruktur kota.










Sumber:
http://www.penataanruang.com/ruang-terbuka-hijau.html
http://www.voaindonesia.com/content/penerapan-kebijakan-ruang-terbuka-hijau-rth-di-indoesia-minim/1521006.html