Ki Hajar Dewantara adalah salah satu
tokoh pendidikan nasional yang lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889. Terlahir dari
keluarga bangsawan Yogyakarta, ia mempunyai nama asli Raden Mas Suwardi
Suryaningrat lalu berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara seperti yang kita
kenal saat ini pada saat
usianya 33 tahun.
Suwardi muda bekerja sebagai penulis dan wartawan di berbagai surat kabar seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Sebagai seorang penulis, ia dikenal karena tulisannya yang peka terhadap masalah-masalah sosial, terutama tentang masalah kolonialisme Belanda di tanah air.
Pada tahun 1913, pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat mengumpulkan uang sumbangan dari penduduk pribumi dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Belanda dari Perancis. Hal tersebut langsung menimbulkan banyak kritikan pedas dari para kaum nasionalis, termasuk Suwardi. Ia lalu membuat tulisan berjudul "Als ik een Nederlander was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker.
Akibat dari tulisannya ini, Suwardi yang saat itu berusia 24 tahun ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Keputusan sepihak pemerintah kolonial ini langsung mendapat protes dari dua sahabat Suwardi yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Akhirnya, Suwardi dan kedua rekannya yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai itu diasingkan ke Negeri Belanda.
Suwardi muda bekerja sebagai penulis dan wartawan di berbagai surat kabar seperti Sediotomo, Midden Java, De Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Sebagai seorang penulis, ia dikenal karena tulisannya yang peka terhadap masalah-masalah sosial, terutama tentang masalah kolonialisme Belanda di tanah air.
Pada tahun 1913, pemerintah kolonial Hindia Belanda berniat mengumpulkan uang sumbangan dari penduduk pribumi dalam rangka merayakan hari kemerdekaan Belanda dari Perancis. Hal tersebut langsung menimbulkan banyak kritikan pedas dari para kaum nasionalis, termasuk Suwardi. Ia lalu membuat tulisan berjudul "Als ik een Nederlander was" (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang dimuat dalam surat kabar De Expres pimpinan Douwes Dekker.
Akibat dari tulisannya ini, Suwardi yang saat itu berusia 24 tahun ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bangka. Keputusan sepihak pemerintah kolonial ini langsung mendapat protes dari dua sahabat Suwardi yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo. Akhirnya, Suwardi dan kedua rekannya yang kemudian dikenal sebagai Tiga Serangkai itu diasingkan ke Negeri Belanda.
Sepulang dari pengasingan pada bulan September 1919, Suwardi yang saat itu berusia 33 tahun memilih untuk menghilangkan gelar kebangsawanan dari namanya dan berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Ki Hajar Dewantara kemudian bergabung dengan sekolah untuk anak-anak pribumi yang dibina oleh saudaranya. Berbekal pengalaman mengajar tersebut, Ki Hajar Dewantara kemudian mendirikan Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta pada tanggal 3 Juli 1922.
Prinsip-prinsip ajaran Ki Hajar Dewantara yang menjadi pedoman di Taman Siswa antara lain:
1. Ing ngarsa sung tuladha (yang di depan memberikan
teladan).
2. Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat).
3. Tut wuri Handayani (dari belakang memberi dukungan).
2. Ing madya mangun karsa (di tengah membangun semangat).
3. Tut wuri Handayani (dari belakang memberi dukungan).
Setelah zaman kemerdekaan, Ki Hajar
Dewantara sempat menjabat sebagai Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan Indonesia yang pertama. Pada tahun 1957, beliau mendapatkan gelar
Doctor Honoris Causa dari Universitas Gajah Mada. Sekitar dua tahun setelah
menerima gelar tersebut, Ki Hajar Dewantara meninggal dan di makamkan di kota
kelahirannya Yogyakarta pada tanggal 28 April 1959.
Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 28 November 1959 melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959. Untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai bapak pendidikan nasional, tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara yaitu 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Ki Hajar Dewantara ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tanggal 28 November 1959 melalui surat keputusan Presiden RI No.305 Tahun 1959. Untuk menghormati jasa-jasa beliau sebagai bapak pendidikan nasional, tanggal kelahiran Ki Hajar Dewantara yaitu 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional.
Provinsi Sumatra Selatan
Lambang Sumatera Selatan berbentuk perisai bersudut lima. Di dalamnya terdapat lukisan bunga teratai, batang hari sembilan, jembatan ampera, dan gunung serta di atasnya terdapat atap rumah khas Sumatera Selatan. Tertulis semboyan "Bersatu Teguh" pada bagian tengah bawah perisai.
Bunga teratai berkelopak lima berarti keberanian dan keadilan berdasarkan Pancasila. Selain itu bunga padma atau teratai adalah bunga suci dalam agama Buddha yang melambangkan Kemaharajaan Sriwijaya sebagai bukti sejarah kegemilangan masa lalu Sumatera Selatan. Batang hari sembilan adalah nama lain provinsi Sumatera Selatan yang memiliki sembilan sungai. Jembatan Ampera merupakan ciri yang menjadi kebanggaan masyarakat Sumatera Selatan. Gunung memiliki makna daerah pegunungan yang banyak terdapat di Sumatera Selatan. Sedangkan atap khas Sumatera Selatan yang berujung 17 dan 8 garis genting dan 45 buah genting merupakan simbol kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945.
Nama Arjuna konon berasal dari kata Jun
yang bermakna jambangan. Konon, nama Janaka juga berasal dari Bahasa Arab
Jannah yang berarti sorga. Kedua kata tersebut mengandung makna hening atau
keheningan. Arjuna memiliki sifat dan watak fitrah, murni. Tak sedikit wanita
yang kasmaran kepadanya. Wujud ketampanan Sang Arjuna adalah lambang kehalusan
serta keagungan budi seorang pria. Arjuna juga dikenal menyukai sesuatu yang
bersifat estetis, asri, sangat sensitif jiwanya, dan lembut hatinya. Sang
Arjuna sulit mengucap kata ‘tidak’ dan kata ‘jangan’, khususnya terhadap kaum
wanita. Di situlah kelemahan Sang Arjuna, maka tak sedikit wanita yang sangat
merindukannya, walau mereka telah bersuami.
Arjuna merupakan putra ketiga dari
lima Pandawa, pasangan Pandu dengan Dewi Kunti. Ia memiliki darah keturunan
titisan Hyang Wisnu. Di antara lima bersaudara, Arjunalah yang tertampan,
karena ia sanggup menaklukkan hati seorang wanita hanya dari mimpi. Dan itu
pula sebabnya, Arjuna memiliki empat belas orang istri, di antaranya adalah
Dewi Sumbadra, Dewi Larasati, Dewi Ulupi (Palupi), Dewi Srikandi, Dewi
Jimambang, Dewi Ratri, Dewi Dresnala, Dewi Wilutama, Dewi Manuhara, Dewi
Supraba, Dewi Antakawulan, Dewi Maeswara, Dewi Retno Kasimpar, Dewi
Juwitaningrat, Dewi Dyah Sarimaya. Sementara anaknya ada lima belas orang.
Arjuna bermata jaitan, berhidung mancung, bermuka tenang. Bersanggul kadal menek, bersunting waderan, berkalung putran (bulan sabit), bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain bokongan putran.
Dalam cerita Mahabarata ketika meletus Perang Baratayuda, Arjuna bertarung melawan Adipati Karna. Pada kesempatan itu, ia berhasil mengalahkannya dengan melesatkan anak panahnya tepat ke tubuh Adipati Karna. Ketika berusia senja dan pemerintahan Hastina dipimpin oleh Parikesit, Arjuna bersama empat orang saudaranya mengembara ke Gunung Mahameru. Mereka menjadi pertapa hingga meninggal di sana.
Arjuna bermata jaitan, berhidung mancung, bermuka tenang. Bersanggul kadal menek, bersunting waderan, berkalung putran (bulan sabit), bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Berkain bokongan putran.
Dalam cerita Mahabarata ketika meletus Perang Baratayuda, Arjuna bertarung melawan Adipati Karna. Pada kesempatan itu, ia berhasil mengalahkannya dengan melesatkan anak panahnya tepat ke tubuh Adipati Karna. Ketika berusia senja dan pemerintahan Hastina dipimpin oleh Parikesit, Arjuna bersama empat orang saudaranya mengembara ke Gunung Mahameru. Mereka menjadi pertapa hingga meninggal di sana.
Kembalikan Indonesia
kepada Indonesia
Seharusnya kita kembalikan semboyan kita bhineka tunggal ika yaitu walau kita berbeda-beda tetap satu jiwa dan raga. Dimana makna dalam semboyan indonesia kita itu mempunyai makna beragam tapi tetap satu tujuan yaitu tetap satu jiwa dan raga. Percuma pahlawan kita memperjuangkan negara indonesia dari penjajahan tapi kita malah menghancurkan nya, kita mau termakan oleh ngomongan orang yang tak berpendidikan, contoh seperti penyimpangan yang terjadi seperti kerusuhan di ambon, pembakaran gereja, tawuran antar warga maupun pelajar, dll , apa maksud itu semua? Mana rasa satu jiwa raga kita ? kemana indonesia yang damai dan saling menghormati ? mau dikemanain HAM? Kebanyakan manusia yang melakukan tindakan yang membuat semboyan negara kita punah adalah manusia bodoh dan tidak berpendidikan , kebanyakan manusia sekarang mencari keuntungan dan membodoh-bodohi manusia lain dengan mengatas namakan tuhan, agama, suku, dan ras.
Kemana jiwa raga bangsa indonesia ini? Perjuangan pahlawan kita yang dulu sudah susah payah bersatu, berjuang, dan rela berkorban, tapi manusia dizaman era modern ini lebih fana, seharusnya kita sadar kita sudah berbeda-beda sejak dahulu kala, dari peredaan itulah kita disegani dan dihorati oleh bangsa lain, seharusnya kita bangga dan harus tetap satu dan tetap perjuangkan indonesia ini, dengan membawa dan mengharumkan semboyan kita “ bhineka tunggal ika” yang artinya walau berbeda-beda kita tetap satu. Jadi kembalikan INDONESIA yang dulu saling menghargai, satu jiwa dan satu bangsa.